Wednesday, April 02, 2008

Andrea Hirata - Sang Pemimpi, Novel Kedua dari 4 Novel Best Sellernya

PENULIS : ANDREA HIRATA

PENERBIT : BENTANG PUSTAKA
HARGA : Rp. 40.000

Sinopsis

Menyusul novel pertamanya, Laskar Pelangi baca disini, Andrea Hirata meluncurkan Sang Pemimpi sebagai kelanjutannya. Masih berkutat di dunia sekolahan, Sang Pemimpi memunculkan tokoh ”pahlawan” Arai yang mirip dengan Lintang pada Laskar Pelangi. Dengan semangat juang yang tinggi, Arai dan Ikal bertekad mewujudkan impian mereka: sekolah ke Prancis, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika. Apa pun yang terjadi!

Jika Laskar Pelangi melibatkan sebelas orang anak SD, pada Sang Pemimpi cerita berpusat pada tiga orang anak (SMA) saja. Mereka adalah Ikal, Arai, dan Jimbron. Yang telah membaca novel pertama pasti tak asing lagi dengan tokoh Ikal. Dialah si empunya hikayat. Padanyalah kisah kedua novel ini bersumber.


Latar cerita masih tetap di Belitong, kampung halaman ketiga anak muda itu. Tak jauh dari kampung mereka, kira-kira 30 km, kini berdiri satu unit bangunan sekolah SMA Negeri. Sebelumnya, SMA terdekat ada di Tanjong Pandan, berjarak 120 km dari kampung tempat para pegawai PN Timah bermukim. Sepantasnyalah seluruh penduduk kampung tersebut bersuka-cita dengan kehadiran SMA yang dirintis oleh Pak Mustar, sang Wakil Kepala Sekolah.

Ikal, Arai, dan Jimbron adalah siswa-siswa angkatan pertama SMA Bukan Main yang dipimpin oleh Pak Balia, guru sastra lulusan IKIP Bandung yang memegang teguh aturan moral itu. Berbahagialah para siswanya karena memiliki para pendidik seperti Pak Balia dan Pak Mustar, orang-orang idealis dengan komitmen tinggi pada profesi guru yang disandangnya.

Di Laskar Pelangi nama Arai belum pernah disebut satu kalipun. Agak mengherankan sebetulnya, sebab dalam Sang Pemimpi dituturkan, Arai telah bersama-sama dengan Ikal sejak kelas 3 SD. Mereka tinggal di kamar yang sama dalam rumah yang sama. Mengaji bersama. Bermain bersama. Sejak menjadi yatim piatu, Arai diasuh oleh kedua orang tua Ikal. Pertanyaannya: di mana Arai bersekolah waktu SD dan SMP?

Tapi baiklah, kita teruskan saja dongeng Sang Pemimpi yang berisi kisah-kisah lucu, sedih, pahit, mengharukan, semasa SMA. Misalnya, sewaktu pembagian rapor. Bagi ayah Ikal, saat pembagian rapor anak-anaknya adalah saat istimewa yang membanggakan. Lantaran itu, ia senantiasa menyiapkan segala sesuatu pada hari pembagian rapor. Ia akan mengambil cuti dua hari, memangkas rambut serta merapikan kumisnya, dan tak lupa mengenakan busana terbaik miliknya, yakni baju safari yang dijahit istrinya tahun 1972. Itu baju keramat yang hanya dipakai pada acara-cara penting saja.

Bagian ini amat menyentuh, memperlihatkan kasih sayang seorang ayah yang lugu dan tulus kepada putranya tercinta. Bagi Ikal, dialah ayah juara satu seluruh dunia.

Sayangnya, ada yang terasa tak logis di sini, yaitu ketika Ikal bercerita soal baju safari kebanggaan sang ayah: ”Aku ingat, tahun 1972, setelah bertahun- tahun menjadi tenaga langkong, semacam calon pegawai PN Timah, akhirnya ayahku diangkat menjadi kuli tetap. Bonus pengangkatan itu adalah kain putih kasar bergaris- garis hitam. Oleh ibuku kain itu dijadikan lima potong celana dan baju safari sehingga pada hari raya Idul Fitri 1972, ayahku, aku, adik laki-lakiku, dan kedua abangku memakai baju seragam: safari empat saku! Kami bersilaturahmi keliling kampung seperti rombongan petugas cacar” (hlm.89).

Jika pada saat Ikal bercerita itu tahun 1988/1989 dan ia— taruhlah— berusia 17 atau 18 tahun (usia anak SMA umumnya), berarti ia lahir tahun 1971. Artinya pada 1972 ia baru berumur 1 tahun. Mungkinkah ia mampu mengingat peristiwa yang dialami ketika ia umur 1 tahun? Rasanya akan lebih masuk akal bila ditulis dengan kalimat: ”Aku ingat, ibuku pernah bercerita, bahwa pada tahun 1972...bla..bla..bla.”

Satu hal lagi: apabila Ikal berumur 1 tahun, berapa umur si adik pada saat itu? Logikanya, pasti si adik masih bayi usia bulanan. Kok janggal ya rasanya anak bayi diberi busana baju safari empat saku. Entahlah, apakah ini kekeliruan penulis akibat kurang teliti atau karena luput dari pengamatan editor?

Barangkali memang tak mudah membuat novel, apa lagi novel sekuel. Selalu ada beban atau semacam tuntutan agar novel-novel lanjutannya bisa lebih baik dari novel pertamanya. Minimal, samalah. Beberapa novel telah terbukti sukses sebagai kisah sekuel. Misalnya, The Lord of The Rings (Tolkien) dan Harry Potter (J.K.Rowlings) dan atau Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) untuk menyebut karya lokal.

Pada Sang Pemimpi Andrea Hirata terlalu memusatkan perhatiannya pada bagaimana menciptakan sebuah kisah emosional, menghanyutkan pembaca ke dalam peristiwa dan situasi emosi para tokohnya sebagaimana dalam Laskar Pelangi. Dalam hal ini ia cukup berhasil. Kelakarnya berhamburan, mengundang senyum, cukup menghibur, dan ketika harus bersentimentil ia juga mampu menyentuh hati pembacanya. Namun, di beberapa bagian ia melalaikan hal-hal ”kecil” yang cukup mengganggu logika cerita. Ia tampak mengabaikan urutan waktu dan kejadian, sehingga masingmasing bab seperti berdiri sendiri dan membikin pembaca kehilangan panduan waktu.

Dibandingkan dengan Sang Pemimpi, Laskar Pelangi lebih menarik dan lebih emosional. Keduanya memiliki kelebihan berupa kekayaan diksi dan metafor yang menawan. Namun, Andrea kerap melupakan konsistensi. Dalam Sang Pemimpi ia lupa mengingat keterangan yang pernah ditulisnya sendiri untuk seorang tokohnya: Arai. Pada saat Arai merayu gadis pujaan hatinya, Nurmala, dengan lagu I Can’t Stop Loving You, ia digambarkan sebagai siswa yang jago berbahasa Inggris. Namun, ketika ”terdampar” di emper rumah makan Kentucky Fried Chicken di Bogor, ia berubah menjadi seorang dengan kemampuan bahasa Inggris yang buruk, sampai-sampai tak tahu makna kata fried, malah memelesetkannya menjadi Tuan Fred.

0 Lihat / Isi Komen Postingan Ini: