Sejumput Kesadaran
SEJUMPUT KESADARAN
Malam yang semakin gulita....
sunyi sepi membahana.......
Langit bertabur bintang....
dengan sedikit mendung yang mengawang...........
tampak dari kejauhan,
seseorang berjalan terseok-seok sambil membawa beban
Semakin dekat-semakin dekat, jelaslah sudah...
seorang yang sudah lewat tengah baya, dengan sorban diatas kepalanya,
rambutnya sudah memutih semua dan sebagian rontok bersamaan dengan
berjalannya dia, kerut merut lipatan kulit di dahinya yang sudah banyak,
pandangan matanya menampakkan beban beratnya kehidupan, kulit dibawah
kelopak matanya membentuk tiga jalur lipatan.
Pipinya cekung dengan tulang pipi yang menonjol, Alis matanya yang
membentuk golok melintang dipadukan dengan dua daun telinganya yang agak
lebar.
Perawakannya kurus kering, tanpa berpakaian, sehingga tampak seolah
hanya tulang yang dibungkus kulit saja. Tulang iganya di kanan kiri
terlihat jelas dari luar, dengan memakai celana hitam yang lusuh
potongan sedengkul, si orang tua itu mengangkat sebuah karung goni besar
di atas punggungnya.
Dengan terseok-seok dia melangkahkan kakinya di kegelapan malam.
Dikejauhan tiba-tiba terdengar ringkikan kuda memecah keheningan malam
"...hhhiiiiiiiiiiiikkkkkkkkkkkk...........hiiirrrrr !!
Seorang penunggang kuda tampak dikejauhan, memacu, menghentak dan kadang
melecut perut kudanya. Tambah lama, semakin dekat jaraknya dengan si
bapak tua.
"MINGGIIRRRRR........!"...teriak si penunggang kuda, tetap tidak
mengurangi kecepatan berkudanya.
Si tua yang memanggul beban berat dipunggungnya, seolah tidak
mendengarkan atau memang tidak mendengar teriakan penunggang kuda itu.
Semakin dekat..jarak semakin dekat...dan semakin dekat.....dan...
"BRAASSSSSSSS>>>>>BRRRUUAKKKA<<<>>>>>>>>:".
Tabrakan tak dapat dielakkan lagi,
Karung goni di atas punggung si orang tua terlempar beberapa meter,
dia sendiri tersungkur, diujung mulutnya meneteskan darah, dipeganginya
dengkul kakinya yang juga lecet-lecet sedikit berdarah.
Tidak ada suara mengaduh, hanya tangannya yang terus mengurut-urut
kakinya yang sepertinya kesakitan.
Si penunggang kuda yang tidak terjatuh melompat dari kudanya turun dan
mendekati si orang tua itu.
Bukannya minta maaf, malah berteriak marah dan mengayunkan kedua
kepalannya pada wajah si orang tua,
"Kamu itu sudah tahu aku bilang minggir kok ndak mau minggir..dasar tua
bangka bangkotan...!!".."Duess..duess..", beberapa pukulannya mendarat
di wajah dan perut si tua.
Darah keluar semakin deras dari mulutnya.
Tak terdengar rintihan atau keluhan.
Sinar bulan yang mulai tampak bercahaya,
sekilas cahayanya mengenai pakaian si penunggang kuda.
Tampak sosok yang kekar terlatih dengan helm di atas kepalanya dan
seragam seorang prajurit perang. Di atas bahunya ada tanda...beberapa
tanda yang menunjukkan dia adalah seorang panglima.
Masih terdenagr beberapa kali gerutuan si penunggang kuda, dia melompat
kembali naik kekudanya dan menghentakkan kudanya bergerak cepat menuju
istana kerajaan.
Beberapa waktu kemudian,
Setelah sampai di depan pintu kerajaan, dia melompat turun dari kudanya.
Kudanya ditambatkan ditempat biasanya ia meletakkan kuda.
Dan dengan langkah tegap, ia berjalan menuju pintu gerbang ruang
kerajaan.
Di kanan kiri pintu, ada dua pengawal kerajaan yang berdiri tegak, siap
dengan tombaknya, menanyakan keperluan dari sang panglima, kemudian sang
panglima disuruh menunggu sejenak diluar. Salah seorang dari penjaga
pintu masuk untuk melaporkan kedatangan sang panglima pada rajanya.
Agak lama kemudian, kira-kira sepenanakan nasi, sang raja keluar dan
duduk disinggasana, sementara si panglima baru saja dipersilahkan untuk
masuk oleh penjaga pintu gerbang.
Sang raja manggut-manggut di atas singgasananya mendengarkan laporan
sang panglima, sementara sang panglima dengan takzim duduk dibawah
menyampaikan laporannya sepatah demi sepatah kata.
Tiba-tiba keasyikan mereka terganggu dengan terbukanya pintu gerbang
ruangan kerajaan itu.
Angin berhembus kencang mengiringi masuknya sosok tua yang sudah kita
kenal tadi. pak tua yang membawa karung goni dipunggungnya.
Melihat pak tua yang berdiri dimuka pintu, mendadak sontak sang raja
tersenyum dan dengan tergopoh-gopoh setengah berlari menghampiri si tua
dengan penuh sikap hormat dan tunduk.
Pucatlah wajah si panglima melihat kejadian itu.
tubuhnya bergetar hebat, lemas seolah seluruh tulangnya meleleh melihat
pemandangan itu.
Orang tua yang tadi disuruhnya minggir, yang tidak mau minggir akhirnya
ditabraknya.
Orang tua yang membuatnya marah karena tidak mau minggir, bukannya dia
minta maaf, malahan si orang tua dipukuli sampai darah menetes, sampai
darah mengucur deras.
Kini ada dihadapannya, dan sebuah keheranan memenuhi benaknya.
Dirinya seorang panglima saja untuk menemui sang raja butuh waktu
menunggu, disuruh menunggu cukup lama. Sedangkan si orang tua itu
kelihatannya tidak dihalangi sama sekali oleh penjaga pintu, dan sang
raja sendiri menyambut dengan tersenyum dan dengan menghormat takzim
pada si orang tua.
Siapakah si orang tua yang sangat dihormati oleh raja ini ?
Siapakah ?
Siapakah orang tua yang telah menjatuhkan seluruh keberanianku sebagai
seorang panglima ini ?
siapakah ?
Siapakah orang tua yang telah membuat aku malu dengan kesabarannya dan
dengan kepasrahannya ini ?
Siapakah ?
Sekiranya dapat si panglima menyembunyikan wajah dan dirinya dari
hadapan si tua, tentulah akan dilakukannya.
Jantung si panglima serasa mau copot, dan darah seolah berhenti
mengalir, mata membelalak, manakala sang Raja bukan saja menghormat,
melainkan mendudukkan si orang tua disinggasananya sementara sang raja
memilih duduk dikursi sebelahnya. Sementara ia sendiri, seorang panglima
kerajaan, hanya duduk di atas karpet, dibawah singgasana.
Si orang tua itu menolak untuk duduk disinggasana, ia memilih duduk
disebelah singgasana raja.
Seolah tak pernah terjadi suatu apa dengan si panglima, si orang tua itu
tersenyum ramah dengan penuh ketulusan padanya.
Suara sang raja memecah keheningan,
"Panglimaku, belum kenalkah engkau dengan beliau ? guruku ? penasehat
kerajaan ? Sulthon auliya` Ibrahim bin Adham ?".
...........
............