BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembunuhan merupakan delik pidana yang sering kita dengar dan mungkin saksikan. Sering kita baca ataupun mendengarnya di media masa maupun media elektronik mengenai delik tersebut. Dan sepertinya delik tersebut tidak pernah ada habisnya, padahal hukuman yang dapat diberikan tergolong sangat tinggi.
Sebagaimana dalam pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi: “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunnuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Dan pasal 340 KUHP berbunyi: “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lam dua puluh tahun.
Namun, tidak semua delik pembunuhan dapat dipidana, baik dengan menggunakan ketentuan KUHP maupun undang-undang lainnya. Pembunuhan yang dilakukan baik secara sengaja, kealpaan, maupun percobaan dapat dipidana. sedangkan pembunuhan yang dilakukan karena cacatnya jiwa atau terganggu karena penyakit, tidak dapat dipidana. (pasal 44 (1) KUHP)
Pembunuhan yang tidak dapat dipidana juga sering kita dengar terjadi di Indonesia yang biasanya disebabkan oleh cacatnya jiwa atau yang biasa disebut gila. Namun, ada sebuah kasus dimana pelaku pembunuhan tidak dapat dipidana dengan alasan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan dalam keadaan tidur (automatism).
Kasus tersebut belum pernah terjadi di Indoensia, namun beberapa kasus seperti di Inggris dan Amerika bisa dijadikan sebagai acuan atau contoh penerapannya di indonesia jika kasus seperti ini terjadi.
1.2 Perumusan Masalah
Agar penelitian ini tidak keluar dari inti permasalahan yang akan dibahas, dan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran maka penulis membatasinya dengan memberikan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah keadaan – keadaan yang membuat pelaku pembunuhan menurut hukum pidana di Indonesia tidak dapat dipidana?
2. Bagaimanakah cara untuk membuktikan seseorang telah melakukan pembunuhan dalam keadaan tidur / sleep walking murder?
3. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian jika kasus sleep walking murder terjadi di Indonesia?
4. Apakah tindakan yang harus diambil agar si pelaku tidak melakukan perbuatan serupa?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui keadaan-keadaan yang membuat pelaku pembunuhan menurut hukum pidana di Indonesia tidak dapat dipidana;
2. Untuk mengetahui cara untuk membuktikan seseorang telah melakukan pembunuhan dalam keadaan tidur;
3. Untuk mekanisme penyelesaian jika kasus sleep walking murder terjadi di Indonesia;
4. Untuk mengetahui tindakan / langkah yang harus diambil agar kasus serupa tidak dilakukan lagi oleh pelaku.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Keadaan - keadaan yang membuat pelaku pembunuhan tidak dapat dipidana menurut hukum pidana Indonesia
Indonesia sebagai negara hukum, tentunya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sebagaimana yang tertuang dalam BAB XA Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) yang secara khusus mengatur mengenai hak asasi manusia, dan ini memiliki konsekwensi bahwa setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia harus dihukum dan dihentikan terutama berkaitan dengan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
Secara umum, kejahatan maupun pelanggaran terhadap hukum pidana Indonesia, akan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
KUHP merupakan upaya penyeragaman pada hukum pidana yang dapat dijadikan acuan dasar dalam penghukuman pidana yang dapat diberlakukan bagi seluruh rakyat Indonesia. Begitupula dengan ketentuan-ketentuan mengenai siapa yang dapat atau tidak dapat dipidananya seseorang atas kejahatan yang dilakukannya.
Maka berdasarkan pada KUHP, hal – hal yang menghapuskan pengenaan pidana adalah sebagai berikut:
1. Karena tak mampu bertanggung jawab. Dalam pasal 44 (1) KUHP menyatakan bahwa:
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. Dan ayat ke - (2) menyatakan: “jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau karena gangguan penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
2. Pembelaan terpaksa. Yaitu keadaan dimana orang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum karena adanya ancaman yang serius yang dapat membahayakan dirinya maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain.
3. Dilakukan karena melaksanakan perintah undang - undang. Misalnya: eksekutor tembakan mati.
Jika kita membaca ketentuan diatas tersebut, maka dapat diartikan bahwa kejahatan hanya dapat dimintakan pertanggung jwabannnya bagi orang yang sehat dan karena adanya kehendak dari diri sipelaku untuk melakukan perbauaan tersebut,dan bukan karena adanya daya paksa. ‘Sehat’ disini bisa berarti jiwanya, maupun tubuhnya. Mengenai sehat jiwanya berarti bahwa pelaku kejahatan tidak dapat dipidana jika ternyata secara medis dinyatakan gila, atau keadaan – keadaan lain yang berdasarkan diagnosa dokter, kejahatan tersebut dilakukan diluar kesadaran si pelaku.
Lalu, bagaimana jika dalam kasus seperti yang dilakukan Jules lowe ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengetahui lebih jauh terlebih dahulu mengenai kasus yang dilakukannya. Jules lowe merupakan pria Inggris yang melakukan pembunuhan terhadap ayahnya sendiri, namun pada persidangan yang dilakukan di negaranya Inggris, dia mengakui bahwa telah menyerang ayahnya pada saat dia sedang tidur dan tidak ingat detail dari insiden tersebut, karena dalam keadaan tidur. Dr Irshaad Erbrahim, Direktur London Sleep Centre membenarkan ucapan Lowe. Ia bersama timnya telah melakukan pengujian sebelum pengadilan digelar.
Jika kita kembalikan lagi ke pasal 44 KUHP, maka dapat kita analogikan bahwa pembunuhan yang dilakukan dalam keadaan tidur, tidak dapat dipidana. Analogi tersebut dapat kita ambil dari kalimat pada pasal 44 (1) yang berbunyi: “perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit.”
Berdasarkan pada kalimat tersebut, maka penulis berkesimpulan bahwa pembunuhan yang dilakukan dalam keadaan tidur tidak dapat dipidana. Karena perbuatan tersebut dilakukan tanpa adanya kesengajaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 338 KUHP maupun 340 KHUP.
2.2 Pembuktian pembunuhan dalam keadaan tidur / sleep walking murder
Pembunuhan yang dilakukan dalam keadaan tidur sambil berjalan, kemudian menyerang orang lain, haruslah dibuktikan apakah benar bahwa perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan tidur. Untuk membuktikannya, harus disertai keterangan medis yang menyatakan bahwa pelaku benar-benar dalam keadaan tidur pada saat pembunuhan tersebut dilakukan serta memiliki riwayat tidur sambil berjalan / sleep walking.
Sama halnya dengan yang dilakukan dalam kasus lowe. Dimana tim medis yang diketuai oleh Dr Irshaad Ebrahim, Direktur London Sleep Centre yang melakukan serangkaian pengujian yang disebut polysomnograph sebelum pengadilan digelar. Pengujian tersebut digunakan untuk mempelajari kelainan tidur Lowe, seperti misalnya gelombang otaknya, aktivitas otot dan pernapasannya, termasuk faktor lain seperti alkohol dan stres yang diketahui bisa memicu episode sleepwalking murder.
Lowe memiliki sejarah tidur sambil berjalan, yang biasanya makin buruk ketika dia minum alkohol. Sebelum pembunuhan itu, ia belum pernah melakukan tindakan kekerasan dalam tidurnya. Ibu tirinya baru saja meninggal dan masih ada beberapa kejadian lain yang membuatnya stres, kata Dr Ebrahim. Ayahnya sangat dekat dengannya dan hubungan mereka sangat baik. ini pembunuhan pertama yang berkaitan dengan kelainan tidur di Inggris.
Dikatakan Ebrahim, hasil test menunjukkan Lowe benar-benar tidur saat serangan dilakukan, suatu keadaan yang disebut dengan automatism.
Automatism, secara hukum diartikan sebagai melakukan tindakan tanpa sengaja. Ada dua jenis automatism.yaitu :
1. Insane automatism, berhubungan dengan gangguan pikiran/kejiwaan, dan ;
2. non-insane automatism, berkaitan dengan faktor-faktor eksternal.
Lowe didiagnosis mengalami insane automatism, itu artinya ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas serangan yang mengakibatkan kematian ayahnya. Dan itu berarti bahwa dia harus dibebaskan dari tuduhan membunuh.
2.3 Mekanisme penyelesaian jika kasus sleep walking murder terjadi di Indonesia
Hakim berkewajiban memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan untuk menjamin kepastian hukum. Begitupun jika di Indonesia terjadi pembunuhan yang dilakukan dalam keadaan tidur / sleep walking murder, maka hakim yang ditunjuk harus bisa memberikan keputusan dan menentukan apakah si pelaku dapat dipidana atau tidak.
Sebagai bahan komparatif, kita bisa melihat pertimbangan yang dilakukan persidangan di Inggris terhadap kasus sleep walking murder yang dilakukan oleh Jules Lowe, yang didakwa melakukan pembunuhan. Dari serangkaian pemeriksaan di kepolisian, dan di persidangan, ditambah lagi analisa medis dari Psikiater dan Ahli syaraf, kemudian persidangan, atas permintaan dewan juri memutuskan bahwa: “Lowe tidak bersalah atas dakwaan membunuh, dan koensekwensinya adalah membebaskan lowe serta mengembalikan hak-hak terdakwa seperti sediakala.
Sebetulnya, lowe bukanlah orang pertama di dunia yang mengaku membunuh dalam keadaan tidur. Ada beberapa kasus lainnya, seperti kasus Steven Steinberg dari Scottsdale, Arizona pada tahun 1991, yang membunuh dengan cara menikam tubuh istrinya dengan pisau sebanyak 26 kali yang akhirnya pengadilan mebebaskannnya, kasus Kenneth Park dari Toronto yang menikam ibu mertuanya dan kemudian juri menyatakan dia tidak bersalah, dan masih banyak kasus-kasus lain, baik yang benar-benar terjadi dalam keadaan tidur, maupun hanya sebagai alasan yng akhirnya tetap dihukum dengan dakwaan pembunuhan.
Salah seorang pemerhati masalah sleep waking murder yaitu Lawrence Martin, M.D., FACP, FCCP memaparkan pendapatnya sebagai berikut: Clearly the outcome in an individual case will depend on the details, the jurisdiction, the expert testimony, and other imponderables. Four questions to be asked and answered in any individual case are:
1. Did the defendant commit the crime? To have a sleepwalking defense, the answer must of course be yes. Go to No. 2.
2. Was the defendant sleepwalking at the time? This answer will depend on a) the defendant's own testimony and b) testimony of the experts. If the answer is Yes, go to No. 3. (If no, it is not a 'sleepwalking' defense.)
3. Is the defendant sane at the time of trial? If the answer is yes, go to No. 4. If no, the defense is likely based on a 'not guilty by reason of insanity' plea. Sleepwalking would be additive to the main plea but not the principal defense.
At this point it is established that the defendant committed the act, that he was sleepwalking at the time, and that he is sane at the time of trial.
4. Should the defendant go free, go to a mental hospital, or go to jail? Everything presented at court will revolve around one of these three possible outcomes - the defense wanting mainly the first, the prosecution wanting mainly the third, and either side perhaps opting for the middle ground (mental institutition) depending on how strong or weak they perceive their case. Here the answer will depend on:
- details of the crime
- expert testimony
- jury makeup, biases, education and background
- judges' interpretations of law
Given these variables, anything can happen with a sleepwalking defense. Stated another way, the same four cases cited above - Steinberg, Parks, Falater, Burgess - could have each ended differently if tried in a different year, a different jurisdiction, with a different jury, a different panel of experts, or before a different group of judges. This obervation is not insightful, but merely a reflection of reality.
Dari keterangan – keterangan para ahli dalam kasus lowe maupun kasus – kasus lainnya, maka dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan apabila kasus serupa terjadi di Indonesia. Menurut penulis, jika kasus sleep walking murder terjadi di Indonesia, Polisi dan Penuntut dapat menggunakan pasal-pasal pembuuhan baik itu 338, 340, maupun pasal lain yang berkaitan dengan pembunuhan. Hal itu tetap harus dilakukan agar alasan sleep walking murder tidak menyebabkan si pelaku lepas tanpa diadakan persidangan terlebih dahulu, karena alasan “ketidaksadaran” merupakan alasan yang cukup kuat untuk melepaskan diri dari “jerat hukum”.
Dan untuk membuktikannya, majelis memerlukan keterangan dari psikiater ataupun ahli syaraf yang mengerti mengenai kelainan-kelainan tidur. Mengapa bukan ahli kejiwaan atau dokter? Seperti telah disebutkan sebelumnya, sleep walking murder / automatism bukan merupakan suatu kelainan jiwa, dan bukan pula penyakit, namun hanyalah sebuah kelainan tidur. Lalu, apa dasar hukum yang harus digunakan oleh hakim jika ternyata si pelaku benar-benar dalam keadaan tidur, jika dikatakan bahwa automatism, bukanlah sebuah kelainan jiwa/sebuah penyakit?
Menurut penulis, majelis hakim tetap dapat menggunakan pasal 44(1) sebagai dasar hukum untuk membebaskan terdakwa dari tuntutan melakukan pembunuhan (pasal 338/340).
Meskipun menurut ahli kejiwaan / psikiater, ahli kedokteran menyatakan bahwa sleep walking murder bukanlah suatu kelainan jiwa/penyakit, namun majelis dapat menganalogikan hal tersebut sebagai cacatnya jiwa. Karena unsur penting yang terdapat pada cacatnya jiwa adalah hilangnya kesadaran, kemampuan untuk mengendalikan diri dan kehendaknya.
Apakah hukum positif Indonesia membenarkan hakim uttuk melakukan analogi/penafsiran terhadap suatu kasus yang dihadapkan padanya? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan undang – undang, diamana tidak ada aturan / ketentuan undang – undang yang secara tegas melarang ataupun memperbolehkan penggunaan analogi dalam suatu kasus. Tetapi pada praktknya, hakim sering menggunakan analogi dalam mengadili kasus – kasus yang tidak jelas pengaturannya. Analogi ini dapat kita lihat terutama pada kasus yang bersangkutan dengan cyber crime, karena undang – undangnya belum selesai dibuat. Biasanya alasan yang digunakannya analogi oleh hakim adalah berkaitan erat dengan undang – undang yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan apapun.
Kapan analogi diperbolehkan? Menurut Mr.Willem Zevenbergen, analogi dapat dilakukan apabila: menghadapi peristiwa yang “analog” atau mirip dengan peristiwa yang diatur oleh undang – undang.
2.4 Tindakan yang harus diambil agar pelaku tidak mengulangi perbuatan serupa.
Dalam kasus – kasus yang berkaitan dengan kejiwaan, biasanya, diktum yang yang dikeluarkan oleh majelis hakim, tidak hanya membebaskan terdakwa dari tuntutan pidana, tetapi juga selalu diikuti dengan perintah untuk mengirm si pelaku ke rumah sakit jiwa atau panti rehabilitasi sebelum dikemballikan ke lingkungan masyarakat. Maksudnya adalah jika sudah dilakukan perawatan dan sejumlah tes kesehatan secara fisik maupun jiwa, diharapakan sipelaku dapat sembuh dari kelaian atau penyakit yang dialaminya, dan jika dilepas dan dikembalikan ke lingkungan sosialnya dimana sebelumnya berada tidak menimbulkan peristiwa serupa.
Kaitannya dengan kasus sleep walking murder pada negara – negara yang telah mengalami kasus tersebut, biasanya hakim memerintahkan agar sipelaku terlebih dahulu dikirm ke rumah sakit ataupun tempat yang secara khusus menangani kealian tidur maupun kejiwaan yang pada pokoknya dalah dapat dilakukannya perawatan kepada sipelaku agar setelah keluar dari tempat tersebut tidak terjadi lagi hal serupa seperti yang diperintahkan hakim dalam kasus lowe.
Di Indonesia sendiri, undang – undang merintahkan agar pelaku yang dibebaskan karena alasan kejiwaan. Misalnya: sakit jiwa, stres, dsb dikirim ke rumah sakit jiwa paling lama 1 tahun sebelum dikembalikan ke lingkungan sosial dimana sebelumnya pelaku berada.
BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah penulis sampaikan sebelumnya, maka penulis ingin memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan ketentuan KUHP, seseorang tidak dapat dipidana jika perbuatan tersebut: 1) tak mampu bertanggung jawab yaitu jika pelaku pada saat melakukan kejahatan tersebut dalam kondisi jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit. 2) pembelaan terpaksa yaitu: perbuatan tersebut dilakukan karena ada ancaman serangan yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan susila atau benda, baik milik sendiri maupun milik orang lain. 3) dilakukan karena melaksanakan perintah undang- undang. Misalnya: eksekutor tembakan mati.
2. Cara untuk membuktikan bahwa seseorang telah melakukan pembunuhan dalam keadaan tidur / sleep walking murder adalah dengan melakukan sejumlah pemeriksaan medik yang dilakukan oleh orang yang ahli dibidang kejiwaan dan kelainan tidur serta dilihat juga sejarah dari sipelaku, apakah memang benar bahwa dia memiliki riwayat tidur sambil berjalan / sleep walking.
3. Untuk menyelesaikan kasus sleep waling murder jika terjadi di Indoneisa adalah sama dengan poin ke-2 diatas. Namun sebelumnya petugas, dalam hal ini polisi selaku penyelidik dan penyidik harus bisa tetap menggunakan ketentuan tentang pembunuhan yang biasanya digunakan, seperti pasal 338 dan 340 KUHP. Dan yang paling penting dari semua itu adalah hakim jika memutuskan untuk membebaskan tedakwa, maka dia harus menganalogi pasal 44(1) dengan kelainan tidur, sehingga sipelaku dapat dibebaskan
4. Tindakam yang harus dilakukan agar sipelaku tidak menimbulkan peristiwa yang sama jika dia dibebaskan kedalam lingkungan sosialnya, maka hakim dapat memerintahkan agar sebelum pelaku dikembalikan ke lingkungan sosialnya, agar pelaku”diisolasi” terlebih dahulu di rumah sakit atau suatu tempat yang dapat memulihkan / menyembuhkan pelaku dari kelainanya tersebut
3.2 Saran
Berdasarkan Pembahasan dari permasalahan dan kesimpulan yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis ingin memberikan saran atau masukan yang relevan terhadap permasalahan tersebut yaitu:
1. Sebaiknya, dalam RKUHP yang sedang dibahas, dicantumkan pula kejelasan bahwa pembunuhan karena kelainan tidur / sleep walking murder
2. Sebaiknya, pelaku sleep walking murder meskipun telah 1 tahun dan dilepas dari rumah sakit, masih tetap di awasi.
DAFTAR PUSTAKA
Amandemen Undang – Undang Dasar 1945
Smith, Laura How sleep walking can lead to killing. http://news.bbc.co.uk/1/hi/uk/4362081.stm
Moeljatno. KUHP:Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, cet.22. Jakarta, Bumi aksara, (2003)
Jules lowe adalah Pria asal Greater Manchaster, Inggris, kepada polisi mengatakan ia menyerang ayahnya, Eddie, yang berusia 82 tahun sewaktu dirinya tidur dan sama sekali tidak ingat insiden yang terjadi Oktober 2003 itu. Sumber: http://news.bbc.co.uk/1/hi/uk/4362081.stm
Lihat: Undang-Undang No.14 tahun 1970 jo. Undang-Undang No.4 Tahun 2004. Pasal 16 (1)